Monday, June 9, 2008

Mahalnya sebuah Hidayah

Harga Mahal Sebuah Hidayah

Dalam ruangan yang serba gelap, untuk membedakan mana tongkat dan mana ular, setidaknya diperlukan dua hal; kemampuan mata dan cahaya dari luar.
Mata bisa melihat, tetapi bila tak ada cahaya tentu tidak akan jelas bentuk benda-benda di sekitar. Begitupun sebaliknya, walau cahaya di sekitar
terang-benderang, bila mata kita buta, segala yang nampak jadi tidak kelihatan. Ada kisah dua orang yang mendalami ilmu agama. Yang satu rumahnya jauh dari masjid, dan yang lain lebih dekat. Ketika adzan dikumandangkan, yang jauh bergegas menuju masjid. Ia bisa datang dan masuk ke masjid lebih awal,



kemudian shalat sunnah, duduk dan berdzikir, dan bisa mengikuti shalat jamaah. Namun orang yang berdekatan dengan masjid, ketika adzan dikumandangkan,
masih bersantai-santai di rumah, akhirnya ia masbuk karena baru tiba di masjid setelah iqamat. Ia kehilangan kesempatan shalat sunnah.

Mengapa terjadi demikian? Padahal kedua orang ini sama-sama mengetahui keutamaan shalat berjamaah dan paham akan kemurkaan Allah kepada orang yang tidak shalat berjamaah. Ada perbedaan memang antar keduanya. Orang yang jauh dari masjid memiliki dua cahaya, cahaya wahyu dan cahaya hidayah. Yang satunya hanya punya cahaya wahyu semata. Hidayah belum mengejawantah dalam dirinya.

Banyak orang yang tahu tentang ilmu agama, namun banyak pula yang tak menjalankan apa yang telah diketahuinya itu. Mereka belum mendapatkan hidayah. Mahal memang harga hidayah. Dan ini berkait dengan pribadi orang yang bersangkutan. Seseorang boleh berupaya sekuat tenaga untuk mengantarkan orang lain mendapatkan hidayah. Tetapi kalau Allah tidak menghendaki, dalam arti secara pribadi orang yang bersangkutan belum memiliki kesiapan, maka usaha itu akan terhenti di tengah jalan.

Nabi Nuh as berdakwah kepada keluarga dan kaumnya selama beratus-ratus tahun, namun hanya beberapa orang saja yang mau mengikuti risalahnya. Bahkan anak dan istrinya termasuk dari orang-orang yang menentang. Nabi Ibrahim as berkali- kali mengajak ayahandanya agar tunduk pada Allah Sang Pencipta, namun sang ayah tetap pada pendiriannya, menyembah patung yang dibuatnya sendiri. Begitu juga Rasulullah saw, beliau tidak bosan-bosan mengharap pamannya agar mengucapkan kalimat 'Laa ilaaha illallah', namun sampai akhir hayatnya, Abu Thalib tidak mengucapkan kalimat thayyibah itu.

Memang hidayah itu hanya milik Allah. Dialah yang akan menurunkannya kepada yang Dia menghendaki. Wewenang dan tugas manusia hanyalah mengajak, memberikan pengertian dan pemahaman, alias memberi jalan masuknya hidayah. Selanjutnya sudah dalam wilayah wewenang Allah swt.

"Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk." (QS al-Qashash: 56)